Langsung ke konten utama

MENGAPA HARUS MENTAATI HUKUM ? (TINJAUAN FILSAFAT HUKUM)

MENGAPA HARUS MENTAATI HUKUM ? (TINJAUAN FILSAFAT HUKUM)
oleh : Afriansyah,S.H 

Pembentukan masyarakat yang taat hukum merupakan cita-cita yang selalu diharapkan agar terealisasi dalam berbangsa dan bernegara, tegaknya hukum yang dicita-citakan merupakan keniscayaan agar hukum dapat berdiri kokoh berdasarkan keadilan. Namun akhir-akhir ini beberapa kasus tertentu meyakinkan masyarakat bahwa hukum tak berdaya atas kekuasaan segelintir elit di negeri ini sehingga memunculkan pesimistis dan mengubur harapan masyarakat terhadap penegakan hukum yang ideal.

konsep penegakan hukum yang ideal merupakan suatu tujuan (goal of life) dalam bermasyarakat yang memang tidak mudah untuk terapkan secara adil, Prof.Soerjone Soekamto menyebutkan ada lima faktor penegakan hukum dalam bernegara (Law Enforcement) yaitu :

1.hukum itu sendiri yang diartikan sebagai peraturan tertulis maupun tidak tertulis (materi hukum positif),
2. Aparat (penegak hukum, yang terdiri dari kepolisian,jaksa dan hakim serta advokat)
3. sarana dan prasarana
4. kebudayaan, dan
5.masyarakat

Lima faktor tersebut di atas merupakan komponen utama yang wajib dibenahi secara total jika hukum hendak ditegakkan secara ideal dalam suatu negara, tidak ada tawar menawar, jika ke lima komponen tersebut bobrok maka mimpi jika ingin menegakan hukum dengan konsep yang ideal. Namun dari kelima komponen tersebut masyarakat secara individu (naturlijk person) lah yang paling penting untuk dilakukan penyadaran. mengapa demikian ?

Hukum di republik ini sudah digembosi oleh orang-orang yang memiliki kepentingan, baik itu kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompok dalam melanggengkan misi meloloskan kejahatan dari jerat hukum, karena orang seperti inilah yang secara nyata selalu mencari celah bagaimana bisa lolos dari aturan hukum yang bertujuan untuk menjaga wibawa negara hukum itu sendiri.

Salah satu contoh kasus yang saat ini sangat menyita perhatian masyarakat adalah kasus yang menyeret nama ketua DPR Setya Novanto dalam dugaan keterlibatannya dalam kasus E-KTP. Setya Novanto diduga terlibat dalam mengatur mega proyek ini sehingga menguntungkan pihak tertentu dan merugikan negara hingga 2,5 triliun rupiah. Sempat ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Juli 2017 lalu, namun tidak berselang lama Setya novanto melalui kuasa hukumnya mengajukan Pra-Peradilan ke pengadilan negeri jakarta selatan hingga putusan pra-peradilan menyatakan penetapan tersangka terhadap Setia Novanto tidak sah, sontak putusan ini membuat masyarakat yang gandrung atas pemberantasan korupsi semakin kecewa dan membawa wibawa hukum kedalam presseden yang buruk bahwa hukum tumpul keatas dan tajam kebawah, Namun demikian, angin segar kembali nampak saat KPK kembali menetapkannya sebagai tersangka dan bermuara terhadap upaya paksa menjemput Setya Novanto  ke kediamannya namun tidak ditemukan. atas ke alpaan tersebut membuat masyarakat berspekulasi bahwa Setya Novanto tidak taat terhadap proses hukum, selaku masyarakat yang taat hukum sangat menyayangkan hal tersebut. Terlepas dari itu semua, sebagai masyarakat ada baiknya menanti bagaimana kesudahan dari kasus tersebut sembari berharap agar Setya Novanto kooperatf dalam proses hukum yang saat ini ditangani oleh KPK.

pro dan kontra yang timbul di masyarakat terhadap kasus ini menunjukkan bahwa masyarakat peduli dengan penegakan hukum, argumentasi yang beragam berkembang di masyarakat merupakan suatu tanda bahwa hari ini hukum merupakan alat yang penting dalam mengatur dan mengontrol masyarakat (tool of social control) sehingga masyarakat berharap agar aparat penegak hukum dapat memproses kasus tersebut secara objektif dan rasional sampai kepada tahapan putusan pengadilan yang tetap (inkracht van gewijsde).

Secara filosofi, antiklimak terhadap pelanggaran dan kejahatan hukum membawa pertanyaan mendasar, mengapa orang harus taat terhadap hukum dan demikian sebaliknya, mengapa orang melanggar hukum?

Filsafat hukum mencoba menjawab persoalan ini secara keseluruhan. filsafat hukum bertujuan agar norma di taati dan berjalan sebagai mana mestinya, hal ini memiliki korelasi dengan sosiologi hukum yang memiliki tujuan memastikan hukum dijalankan oleh masyarakat. Filsafat hukum mempelajari hukum secara filosofis. Jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat. Berfilsafat artinya berfikir bijaksana, bijaksana yang dimaksud adalah melihat semua gejala yang terjadi tidak hanya sepotong-sepotong, filsafat hukum menjawab mengapa orang tidak taat hukum tidak dari keberadaan norma saja, filsafat hukum masuk jauh kedalam itu hingga bermuara kepada hakikat dari eksistensi manusia.

Memberantas pelanggaran dan kejahatan hukum dengan memberlakukan penegakan dengan hukum positif (norma) saja tidak akan membuat kejahatan maupun pelanggaran akan berkurang, dalam kontek ini, norma hanya sebagai alat reaktif atas pelanggaran hukum yang terjadi, pendekatan ini sangat umum sekali jika ditinjau dari pandangan filsafat hukum, sehingga ketidak puasan atas eksistensi norma tidak mampu menjawab mengapa orang masih melanggar hukum?

ketidak mampuan norma menjawab permasalahan pelanggaran dan kejahatan hukum ini membawa ketahapan yang lebih dalam. tahapan ini disebut identifikasi terhadap asas-asas hukum yang mendasari norma tersebut berlaku. asas hukum menurut Van Eikema Hommes memiliki makna dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. dapat dikatan bahwa ketika terdapat ketidak efektifan penerapan norma, maka di telusuri apakah penggunaan asas hukum sudah tepat.

Asas hukum yang mendasari lahirnya norma di negeri ini juga tidak mampu menjawab pertanyaan mendasar tersebut, tentu persoalan ini harus dijawab menggunakan pendekatan filsafat. Pendekatan filsafat hukum mengidentifikasi persoalan hukum menyeluruh tidak hanya meteril hukum semata, namun sampai kepada subjek hukum yaitu manusia (naturlijk person), berfilasafat hukum artinya mengidentifikasi manusia, melakukan penelusuran terhadap historikal individu, hingga terjawablah motif apa dan mengapa manusia taat terhadap hukum, dan mengapa manusia melanggar hukum,

manusia dalam arti personal (naturlijk person) memiliki latar belakang yang berbeda, sejarah yang berbeda dan tingkat intelektual yang berbeda, manusia yang memiliki ilmu yang baik tidak akan sama pemahamannya dalam memaknai mengapa taat hukum dan tidak taat hukum dengan manusia dengan tingkat keilmuan yang sedikit lebih rendah ?, sementara ilmu pengetahuan membawa manusia kepada hakikat yang sebenarnya bahwa manusia itu tidak ada yang kemudian di adakan, tinggkatan ilmu pengetahuan dalam tataran ini membawa manusia sadar bahwa manusia tidak ada apa apanya dibanding dengan pencipta manusia, kesadaran yang mendalam inilah yang diinginkan filsafat hukum agar hukum tegak lurus dipatuhi, kepatuhan terhadap hukum membawa manusia patuh kepada sang pencipta, kepatuhan ini dilandasi kesadaran bahwa hidup hanyalah sementara, dan kematian adalah pasti, pengadilan yang tertinggi bukanlah pengadilan dunia, melainkan pengadilan yang diadili oleh yang maha adil.

demikianlah filsafat hukum mencoba menjawab mengapa orang taat hukum dan mengapa orang melanggar hukum secara hakiki, dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya kepentingan yang dibawa oleh manusia terhadap nafsu yang terdapat dalam dirinya sehingga membawa manusia itu merasa diakui eksistensinya sebagai orang yang berkuasa dan paling berdaya, sementara mengapa orang taat terhadap hukum dapat diartikan manusia tersebut secara sadar bahwa mentaati hukum akan membawa kesetabilan dan kedamaian dalam hidup dengan konsekuwensi yang berlaku.











Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH LEMBAGA NEGARA SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN UUD 1945

STUDI KOMPARATIF LEMBAGA NEGARA SEBELUM DAN SESUDH AAMANDEMEN UUD 1945 BAB 1 PENDAHULUAN A.     LATAR BELAKANG Sejak reformasi terjadi tahun 1998 yang berakibat berakhirnya masa pemerintahan orde baru, mulailah terjadi perubahan (Amandemen) konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945   sebanyak empat kali. Perubahan tersebut berimplikasi terhadap perubahan ketatanegaraan sekaligus susunan kelembagaan Negara Indonesia. salah satu dampak langsung perubahannya adalah perubahan supremasi MPR menjadi supermasi Konstitusi. Susunan kelembagaan Negara Indonesia tidak lagi mengenal istilah “lembaga tertinggi Negara” untuk kedudukan MPR sehingga terjadi kesejajaran kedudukan dengan lembaga sejenis demi menciptakan system check and balances. Telah dikenal adanya 3 fungsi kekuasaan klasik yaitu fungsi legislative, eksekutif, dan yudikatif oleh Baron de Montesquieu (1689-1785). Teori tersebut disebut juga teori Trias Politica yang menghendaki adanya pemisahan

Bawaslu, dan peran penanganan pelanggaran pemilu (otokritik terhadap penindakan pelanggaran menuju pemilu berintegritas)

Badan Pengawas Pemilihan Umum ( Bawaslu), berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 saat ini memiliki kewenangan besar, tidak hanya sebagai pengawas, sekaligus sebagai eksekutor hakim pemutus perkara. Saat ini dan ke depan, terbentang tantangan historis bagi Bawaslu untuk membuktikan peran dan eksistensi strategisnya mengawal pemilu yang berintegritas bagi kemajuan bangsa. Reformasi politik pascareformasi melalui gerakan rakyat (people power) Mei 1998 berhasil menumbangkan Orde Baru. Lahir dari kenyataan, bahwa selama rezim Orde Baru, rakyat Indonesia merasakan kekecewaan akibat praktik demokrasi prosedural. Hal itu seperti penyelenggaraan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 yang tidak sesuai dengan asas dan prinsip pemilu demokratis. Dalam konteks Indonesia yang sedang membangun peradaban politik yang sehat, pelaksanaan pemilu tanpa hadirnya pengawasan secara struktural dan fungsional yang kokoh berpotensi besar akan menimbulkan hilangnya hak pilih warga negara, mara