Langsung ke konten utama

Bawaslu, dan peran penanganan pelanggaran pemilu (otokritik terhadap penindakan pelanggaran menuju pemilu berintegritas)


Badan Pengawas Pemilihan Umum ( Bawaslu), berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 saat ini memiliki kewenangan besar, tidak hanya sebagai pengawas, sekaligus sebagai eksekutor hakim pemutus perkara. Saat ini dan ke depan, terbentang tantangan historis bagi Bawaslu untuk membuktikan peran dan eksistensi strategisnya mengawal pemilu yang berintegritas bagi kemajuan bangsa. Reformasi politik pascareformasi melalui gerakan rakyat (people power) Mei 1998 berhasil menumbangkan Orde Baru. Lahir dari kenyataan, bahwa selama rezim Orde Baru, rakyat Indonesia merasakan kekecewaan akibat praktik demokrasi prosedural. Hal itu seperti penyelenggaraan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 yang tidak sesuai dengan asas dan prinsip pemilu demokratis.

Dalam konteks Indonesia yang sedang membangun peradaban politik yang sehat, pelaksanaan pemilu tanpa hadirnya pengawasan secara struktural dan fungsional yang kokoh berpotensi besar akan menimbulkan hilangnya hak pilih warga negara, maraknya politik uang, kampanye hitam, dan pemilu yang tidak sesuai aturan. Dampak lanjutan pemilu yang tidak berintegritas adalah timbulnya sengketa dan gugatan hasil pemilu. Selain itu, pesta demokrasi yang berbiaya tinggi, tetapi hanya akan menghasilkan pemimpin yang legalitas dan legitimasinya diragukan. Potensi bahaya selanjutnya adalah tumbuhnya konflik politik yang tidak berkesudahan. Pemilu sebagai suatu mekanisme demokrasi sesungguhnya didesain untuk mentransformasikan sifat konflik di masyarakat menjadi ajang politik yang kompetitif dan penuh integritas melalui pemilihan umum yang berjalan lancar, tertib, dan berkualitas.
Pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan Negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sesuai Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi, "Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar". Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 menggariskan enam kriteria pemilu demokratis, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Selanjutnya, UU Pemilu menambah dua kriteria lagi, yakni transparan dan akuntabel. Pemilihan umum telah menjadi fenomena global dan telah dipraktikkan, baik di negara yang telah maju demokrasinya maupun negara yang masih dalam proses transisi menuju demokrasi. Namun demikian, fenomena pemilu di berbagai negara, termasuk negara maju, termasuk Pemilu di Indonesia masih menunjukkan bahwa pemilu tidak bisa lepas dari berbagai pelanggaran dan kecurangan (electoral malpractices). Dalam konteks inilah, konsep integritas pemilu menjadi penting karena napas yang menjiwai pemilu adalah politik, yang memiliki sifat dasar "menghalalkan cara untuk mencapai tujuan dan kekuasaan". Hal ini menjadi tanggung jawab semua lapisan masyarakat, tidak hanya penyelenggara pemilu, seperti KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, untuk mengonstruksi pemilu berkualitas dan berintegritas bagi kemajuan bangsa. Sejatinya, pemilu harus berjalan baik secara prosedural dan substansial.

BAWASLU SEBAGAI SUPER POWER PEMILU.

Pemilu baik secara prosedural dan substansial akan dikatakan berhasil jika tujuannya tercapai. Keberhasilan tersebut adalah suatu keniscayaan yang idealnya bersumber dari beberapa hal yaitu norma yang baik, adanya kebebasan dalam memilih, terwujudnya partisipasi masyarakat, dan arena berkompetisi politik yang fair serta bebas dari politik uang. Sehingga muara dari itu semua yaitu terpilihnya pemimpin yang menjadi kehendak rakyat. Pemimpin amanah yang mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan.

Namun dalam prakteknya cita ideal tersebut tidak sepenuhnya terlaksana mengingat banyaknya pelanggaran Pemilu yang terjadi di lapangan, dalam hal ini kinerja Bawaslu dipertaruhkan untuk menunjukkan efektifitas dan optimalisasi Bawaslu sebagai pengawas Pemilu.
Sebagai pengawas Pemilu, pengawasan tersebut melekat dalam tubuh Bawaslu sesuai dalam pasal 93 huruf b angka 1 dan 2 Undang-undang nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yaitu melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran Pemilu dan sengketa proses Pemilu. Bawaslu juga diharapkan mampu melakukan penindakan tegas, efektif, dan menjadi hakim pemilu yang adil. Secara historis, kelahiran Bawaslu diharapkan dapat mendorong dan memperkuat pengawasan masyarakat dengan memberikan penguatan berupa regulasi, kewenangan, sumber daya manusia, anggaran, serta sarana dan prasarana. Agar berperan efektif, setiap laporan pengawasan dapat lebih tajam dan menjadi fakta hukum yang dapat ditindaklanjuti sesuai mekanisme regulasi yang ada serta mampu memberikan efek jera bagi upaya mengurangi potensi pelanggaran sehingga tujuan keadilan pemilu dapat tercapai.

Kasus pelanggaran oleh oknum KPU dan
Bawaslu Kota Garut serta baru-baru ini angota Bawaslu Surabaya dipecat karena tidak netral dalam menjalan tugas sebagai pengawas pemilu. Hal ini perlu menjadi contoh kasus bahwa Penyelenggara pemilu rentan dengan konflik kepentingan. Agar hal ini tidak terjai kedepannya perlu dilakukan rekrutmen yang baik, independen dan bebas intervensi agar supay bawaslu leluasa dalam meneggakn keadailan pemilu.

UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah memperkuat wewenang Bawaslu. Lembaga ini tak lagi sekadar pemberi rekomendasi, tetapi sebagai eksekutor atau pemutus perkara. Namun, seiring dinamika tinggi dalam masyarakat, pada sisi lain regulasi yang ada belum mampu mengakomodasi dinamika tinggi tersebut. Termasuk makin "canggihnya" modus dan bentuk pelanggaran serta kompetisi pemilu yang mulai tidak sehat, terutama penggunaan kampanye hitam, kampanye negatif dan "penyiasatan aturan" pelanggaran pemilu yang berpotensi menimbulkan beragam pelanggaran pemilu. Ke depan, Bawaslu harus mendorong partisipasi masyarakat secara optimal. Bawaslu harus mampu bekerja sinergis bersama seluruh elemen bangsa untuk mengawasi dan menegakkan hukum pemilu secara tegas dan adil. Keadilan pemilu
dapat diwujudkan jika Bawaslu bekerja secara terbuka, profesional, imparsial, akuntabel, dan berintegritas.

Super power dalam istilah kekuasan politik adalah memiliki wewenang yang besar, dalam memutus perkara sengketa proses pemilu, namun keberadan norma yang tumpang tindih atau konfict of Norm menyebabkan putusan Bawaslu yang bersifat final dan terakhir, seringkali dilawan. Upaya tersebut tidak ada yang salah karena memang Bawaslu sebagai lembaga pengawas proses pemilu, permintaan putusan koreksi ke Bawaslu setingkat lebih tinggi merupakan suatu otokritik terhadap institusi dan wujud kelemahan internal. Politisi yang memiliki hasrat kuat dalam tujuan politiknya melakukan segala upaya, hingga bersengketa ke PTUN atas putusan-putusan KPU bahkan gugatan dimenangkan. Inilah potret buruk regulasi Pemilu di Indonesia yang dikeluhkan dalam penindakan pelanggran Pemilu.

PERMASALAHAN DAN STARTEGI PENINDAKAN PELANGGARAN PEMILU

Dalam melakukan upaya pencegahan, Bawaslu harus memiliki strategi pengawasan yang tepat berdasarkan pemahaman akan potensi pelanggaran yang dipotret dengan benar. Bawaslu juga harus peka memahami potensi timbulnya penggunaan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dalam proses pemilu. Dari rangkaian pemilu digelar selama ini, belum seluruh problematika pemilu dapat dipecahkan secara memuaskan oleh penyelenggara pemilu termasuk Bawaslu. Masih terdapat beragam persoalan, misalnya pemutakhiran daftar pemilih, sistem pemilu, politik uang, akuntabilitas penyelenggaraan, netralitas aparatur sipil negara, serta integritas proses dan hasil pilkada, pemilu dan pilpres.
Dalam penindakan pelanggaran yang melibatkan Sentra Gakkumdu, sesuai dengan Peraturan Bawaslu, Pelanggaran Pidana Pemilu harus melibatkan unsur kepolisian dan kejaksan dalam melakukan penindakan, permasalahan penegakan mengemuka ketika, pelanggaran pemilu yang ditemukan oleh Bawaslu dinyatakan terdapat pelanggaran dan pidana pemilu namun ketika dibahas dalam Sentra Gakumdu unsur penegak hokum lainnya memiliki pendapat lain bahkan tinyatakan tidak memenuhi unsure pidana pemilu hingga terbit Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Persoalan ini tentulah menjadi perhatian masyarakat dalam menyoroti peran Bawaslu dalam penegakan Hukum Pemilu. Akibatnya setiap temuan yang didapat oleh Bawaslu akan sulit dilakukan putusan jika penentuan akhir dari dugaan pelanggaran pemilu harus dihadapkan di Sentra Gakkumdu.

Disamping itu, pengetahuan masyarakat yang kurang memahami mekanisme pelaporan jika menemukan pelanggaran pemilu di lapangan mebuat partisipasi masyarakat rendah, adapun yang melaporkan hanyalah dari kelompok masyarakat yang berkepentingan dengan laporannya tersebut, laporan akan dugaan pelanggaran pemilu haruslah disesuaikan dengan ketentuan yang di ataur dalam Perbawaslu Nomor 7 tahun 2018 tentang penanganan temuan dan laporan. Dalam perbawaslu tersebut, setiap laporan dari masyarakat wajib memenuhi syarat formil dan materil. Sayarat ini adalah suatu kewajiban agar laporan tersebut dapat diterima dan deregister dalam form laporan. Kemudian permasalahan yang muncul adalah ketika pelapor tidak memenuhi syarat materil seperti kekurangan bukti yang cukup dan saksi yang lebih dari satu sering kali terkesan bahwa masyarakat tidak total dan tidak memahami pentingnya laporan tersebut sebagai bagian dari control social dalam Pemilu. Kompleksitas permasalahan ini berlanjut pada tahap investigasi dan penelitian terhadap keabsahan laporan yang tidak teregister sehingga Bawaslu menjadikan laporan yang tidak memenuhi syarat sebagai informasi awal untuk di telusuri.

Penegakan pelanggaran yang difokuskan kepada kabupaten dan bermuara di Bawaslu provinsi, akan mengakibatkan penumpukan laporan dan ketimpangan pengawasan dan penindakan jika peran ini juga tidak diperkuat oleh Panwas Kecamatan dan Panwas Kelurahan. Namun demikian dalam mengurai permasalahan tentu tidak bias menyalahkan satu sama lain, karena itu bukanlah solusi dalam menghadapi persoalan. Kerja-kerja strategis yang dilakukan oleh Bawaslu Kabupaten dan Bawaslu Provinsi memang tidak sama engan Panwas kecamatan dan Kelurahan, tapi nafas dalam pengawasan dan kemampuan menginventarisir potensi pelanggaran harus jeli, agar upaya-upaya yang tidak sesuai dengan semangat pemilu dalam terwujud dengan baik dan berintegritas.

RESOLUSI MENJU PEMILU YANG BERKUALITAS

Keberhasilan atau kegagalan pemilu, pilkada, dan pilpres sesungguhnya ditentukan oleh banyak faktor dan aktor. Oleh karena itu, Bawaslu harus mampu menjadi aktor yang menyinergikan seluruh potensi dalam mewujudkan pemilu yang demokratis dan bermartabat. Proses penyelenggaraannya, khususnya dalam pengawasan, harus melibatkan seluruh elemen, baik unsur masyarakat maupun pemangku kepentingan. Proses itu dilaksanakan secara transparan, akuntabel, kredibel, dan partisipatif, agar semua tahapan dapat berjalan baik sesuai koridor aturan yang berlaku. Terbentang ke depan tantangan akan eksistensi dan peran strategis bagi Bawaslu berdasarkan UU No 7 Tahun 2017 sehingga memiliki kewenangan besar, tidak hanya sebagai pengawas, sekaligus sebagai eksekutor dan pemutus perkara yang bersifat khusus seperti peradilan khusus pemilu dan tentunya hal ini semua adalah untuk membuktikan peran dan eksistensinya mengawal pemilu yang berintegritas bagi kemajuan bangsa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH LEMBAGA NEGARA SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN UUD 1945

STUDI KOMPARATIF LEMBAGA NEGARA SEBELUM DAN SESUDH AAMANDEMEN UUD 1945 BAB 1 PENDAHULUAN A.     LATAR BELAKANG Sejak reformasi terjadi tahun 1998 yang berakibat berakhirnya masa pemerintahan orde baru, mulailah terjadi perubahan (Amandemen) konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945   sebanyak empat kali. Perubahan tersebut berimplikasi terhadap perubahan ketatanegaraan sekaligus susunan kelembagaan Negara Indonesia. salah satu dampak langsung perubahannya adalah perubahan supremasi MPR menjadi supermasi Konstitusi. Susunan kelembagaan Negara Indonesia tidak lagi mengenal istilah “lembaga tertinggi Negara” untuk kedudukan MPR sehingga terjadi kesejajaran kedudukan dengan lembaga sejenis demi menciptakan system check and balances. Telah dikenal adanya 3 fungsi kekuasaan klasik yaitu fungsi legislative, eksekutif, dan yudikatif oleh Baron de Montesquieu (1689-1785). Teori tersebut disebut juga teori Trias Politica yang menghendaki adanya pemisahan

MENGAPA HARUS MENTAATI HUKUM ? (TINJAUAN FILSAFAT HUKUM)

MENGAPA HARUS MENTAATI HUKUM ? (TINJAUAN FILSAFAT HUKUM) oleh : Afriansyah,S.H  Pembentukan masyarakat yang taat hukum merupakan cita-cita yang selalu diharapkan agar terealisasi dalam berbangsa dan bernegara, tegaknya hukum yang dicita-citakan merupakan keniscayaan agar hukum dapat berdiri kokoh berdasarkan keadilan. Namun akhir-akhir ini beberapa kasus tertentu meyakinkan masyarakat bahwa hukum tak berdaya atas kekuasaan segelintir elit di negeri ini sehingga memunculkan pesimistis dan mengubur harapan masyarakat terhadap penegakan hukum yang ideal. konsep penegakan hukum yang ideal merupakan suatu tujuan (goal of life) dalam bermasyarakat yang memang tidak mudah untuk terapkan secara adil, Prof.Soerjone Soekamto menyebutkan ada lima faktor penegakan hukum dalam bernegara (Law Enforcement) yaitu : 1.hukum itu sendiri yang diartikan sebagai peraturan tertulis maupun tidak tertulis (materi hukum positif), 2. Aparat (penegak hukum, yang terdiri dari kepolisian,jaksa dan hak