TKI dieksekusi mati, Bargaining Position Indonesia Lemah?
Oleh : Afriansyah, S.H.
Pekan ini, Indonesia dihebohkan dengan hukuman mati warga negara Indonesia di Arab Saudi. Zaini Misrin TKI asal Bangkalan, Jawa Timur kembali masuk daftar kelam yang di eksekusi dengan tuduhan pembunuhan terhadap majikannya.
Realita pahit pahlawan devisa ini semakin menambah rentetan panjang tingginya angka eksekusi mati TKI di Luar negeri.
Data yang di kutip dari Kemlu, Sejak tahun 2011 100 orang terancam hukuman mati di Arab Saudi. Namun 76 orang di antaranya telah bebas, 21 orang masih diproses, dan 3 orang lainnya telah dieksekusi.
Pemerintah wajib melakukan upaya ekstra keras terhadap sejumlah kasus yang sedang berjalan proses hukumnya agar eksekusi mati serupa tidak terulang kembali.
Di tinjau dari sisi hukum positif Arab Saudi, eksekusi mati yang dilakukan adalah upaya Arab Saudi melakukan penegakan hukum ( Law Enforcement) terhadap tindak pidana yang terjadi dengan menjalankan sepenuhnya syariat Islam sebagai Hukum dasar negara (Ground Norm). Namun di satu sisi, hukuman mati yang dilakukan oleh Arab Saudi dapat dibatalkan dengan mendapatkan pengampunan dari ahli waris Korban dengan disertai syarat tertentu berupa tebusan.
Upaya-upaya diplomasi dan advokasi terhadap kasus yang menimpa Zaini Misrin di nyatakan oleh pemerintah telah maksimal sejak kasus ini terjadi pada tahun 2004 hingg upaya Peninjauan kembali di usulkan oleh Pemerintah Indonesia ke pemerintah Arab Saudi.
Di kutip dari laman Kompas, menyebutkan bahwa upaya pendampingan tergadap Zaini Misrin telah maksimal dilakukan hingga Presiden telah 3 (tiga) kali berkirim surat kepada Raja Arab Saudi Salman Abdul Aziz puncaknya saat Raja Salman tersebut ke Indonesia, Presiden Indonesia kembali menyampaikan hal tersebut face to face.
Upaya-upaya yang disinyalir telah maksimal tersebut ternyata tidak membuahkan hasil, mengingat pemerintah Indonesia mengajukan Peninjauan Kembali terhadap eksekusi mati tersebut dan sebelum diterima atau di tolaknya Peninjauan Kembali tersebut, Arab Saudi telah terlebih dahulu mengeksekusi mati Zaini Misrin.
Ironis memang, di tengah uforia kedatangan Raja Salman tempo lalu yang memberikan gairah luar biasa dengan investasi Triliunan terhadap Indonesia seakan menjadi pudar ketika Arab Saudi mengeksekusi mati TKI tanpa di awali dengan pemberitahuan terlebih dahulu. Padahal tahun 2015 silam, Antara Arab Saudi dan Indonesia bersepaham agar memberikan "official notification" terkait adanya eksekusi mati.
Tentu kesepahaman yang dimaksud memang bukanlah sumber hukum yang harus ditaati oleh Arab Saudi, namun secara etika politik sungguh Arab Saudi tidak menghargai kesepahaman yang telah dibuat dengan Indonesia.
Berbeda sekali dengan Indonesia yang tahun lalu mengeksekusi mati beberapa Warga Negara Asing yang terlibat kasus narkoba, Indonesia dengan penuh hormat memberikan surat pemberitahuan resmi kepada negara Warga Negara Asing yaitu Prancis, Brazil dan Australia agar disilahkan melakukan pembelaan.
Beberapa pertanyaan muncul terkait kontradiksi etika politik negara dalam hubungan bilateral dan multilateral. Mungkinkah Bargainig Position Indonesia telah Lemah?
Pemerintah wajib bersikap tegas
Mengenai apakah bargaining position indonesia lemah atau tidak, jika dilihat dari sudut pandang realita dengan beberapa pendekataan usaha yang dilakukan Pemerintah agar dapat melindungi warga negaranya dari ancaman hukuman mati tentulah gagal. Eksekusi mati terhadap kasus pembunuhan tentu tidaklah hal yang krusial jika dibanding dengan kasus penyeludupan narkoba dengan jumlah besar (ekstraordinary crime) sebagai perbandingan. Barangkali jika WNI melakukan Kejahatan luar biasa mungkin masih bisa diterima eksekusi mati tersebut dilakukan. Namun kenyataannya tidak. Terlepas dari apakah pembunuhan yang dilakukan oleh Zaini Misrin suatu kebenaran atau sesuatu yang dilakukan dalam upaya mempertahankan diri sedikit sekali data dan fakta yang diperoleh ditengah sulitnya mendapatkan akses keterbukaan informasi publik di Negara Saud tersebut.
Tentu dengan di abaikannya PK yang di ajukan pemerintah dalam keadaan "Quo" merupakan hipotesa sementara bahwa Indoneaia tidak memiliki bargaining position di mata Arab Saudi.
Pemerintah harus berani bersikap
Pemerintah wajib memmbil sikap berani meskipun tidak populer dimata dunia demi membuktikan bahwa jargon Indonesia Hebat yang di langgemgkan pemerintah saat ini dapat senyata terwujud.
Upaya-upaya berani tersebut lebih tinggi tingkatannya dari sekedar tegas. Menarik duta besar RI dan Konsulat Jendral yang ada di Arab Saudi kembali untuk sementara waktu tentu akan membuktikan bahwa Negara sedang tidak main-main dangan hak dasar yaitu hak hidup seperti yang di atur dalam UUD 1945.
Upaya-upaya berani lainnya yaitu mengusir duta besar Arab Saudi yang ada di Indonesia kembali ke negaranya dalam waktu tertentu juga akan menunjukan bahwa Indonesia masih memiliki harga diri yang kuat.
Pertanyaan akan muncul, apakah Indonesia berani mengambil sikap ini?
Alih-alih mengambil sikap non-populis yang cenderung ekstrem pemerintah Indonesia melalui wakil presiden malah memaklumkan eksekusi mati sebagai upaya Arab Saudi menegakkan hukumnya.
Tentu saja pernyataan wakil presiden Indonesia ini melukai hati keluarga korban.
Belum lagi ada banayak MoU bilateral multisektor seperti investasi ekonomi, kerjasama pertambangan dan lain sebagainya yang harus dipikir matang oleh pemerintah apakah berdampak kepada keretakan stabilitas ekononi antara kedua negara. Hal ini cukup akan membuat Pemerintah bimbang.
*komitmen pemerintah untuk memperbaiki tata kelola TKI*
pada November 2017, telah disahkan UU 18/2017 tentang perlindungan pekerja migran Indonesia menggantikan UU 39/2004.
Dalam UU itu, paradigma perlindungan TKI berubah total.
Setelah disahkan pada 25 Oktober 2017 melalui Sidang Paripurna DPR-RI, Undang-Undang tentang Pelindungan Pekerja Migran akhirnya diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Proses revisi Undang-Undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia berjalan dalam proses yang cukup panjang. Setelah kurang lebih 7 tahun proses pembahasan, Undang-Undang No.18 tahun 2017 akan menggantikan Undang-Undang No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri.
Undang-Undang No.18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia memiliki banyak kemajuan dalam beberapa aspek. Di antaranya adalah aspek perlindungan yang telah mengadopsi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, yang juga telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang No.6 Tahun 2012. Namun, masih terdapat beberapa catatan kritis yang perlu menjadi perhatian kita dalam Undang-Undang No.18 Tahun 2017 ini dalam tataran implementasi hingga aturan pelaksananya ke depan.
Secara keseluruhan Undang-undang ini telah mengatur dengan baik tata laksana penempatan, perlindungan dan penjaminan keamanan TKI yang bekerja di luar negeri, tinggal bagaimana tindak lanjut keseriusan yang harus dilakukan pemerintah kita secara serius dan berkesinambungan.
pemetaan berbasis teori konflik
Adanya perbedaan antara harapan dan kenyataan (das sein das sollen) melahirkan chaos e dalam kondisi menyikapi kepentingan indonesia untuk melindungi warga negara nya dan kepentingan negara asing dalam melakukan upaya Law enforcemance akan berujung kepada konflik.
Dalam tanda kutif.konflik ini harus segera diselesaikan dengan menggunakan pendekatan yang perauasif (persuasive approach). Pendekataan semacam ini dapat dimulai dengan melakukan pemetaan dan pendaataan ulang jumlah kasus-kasus yang melibatkan TKI kita di semua negara di luar negeri, baik kasus dalam kategori ringan maupun kasua dalam kategori ancaman eksekusi mati.
Hal semacam ini sangat penting dilakukan, agar pemerintah tahu rasio jumlah kasus dengan jumlah diplomat dan advokat yang perlu di tempatkan untuk mendampingi kasus TKI di luar negeri tersebut.
Dibalik semua wacana mengembalikan political standing Indonesia di kancah Internasional, hal paling mendasar adalah pemerintah wajib menyiapkan solusi akan ke prustrasian sulitnya lapangan pekerjaan dalam negeri. Sehingga dengan merumuskan kebijakan pro rakyat dan menyediakan lapangan pekerjaan baru adalah sebuah otokritik yang harus dijadikan skala prioritas agar konsep negara hadir dalam semua lini berbangsa dan bernegara memang benar adanya.
Dengan telah melakukan upaya maksimal melalui pendekatan konferhensif ini barulah Indonesia akan mampu mengembalikan ke digdayaannya di mata publik Internasional.
Oleh : Afriansyah, S.H.
Pekan ini, Indonesia dihebohkan dengan hukuman mati warga negara Indonesia di Arab Saudi. Zaini Misrin TKI asal Bangkalan, Jawa Timur kembali masuk daftar kelam yang di eksekusi dengan tuduhan pembunuhan terhadap majikannya.
Realita pahit pahlawan devisa ini semakin menambah rentetan panjang tingginya angka eksekusi mati TKI di Luar negeri.
Data yang di kutip dari Kemlu, Sejak tahun 2011 100 orang terancam hukuman mati di Arab Saudi. Namun 76 orang di antaranya telah bebas, 21 orang masih diproses, dan 3 orang lainnya telah dieksekusi.
Pemerintah wajib melakukan upaya ekstra keras terhadap sejumlah kasus yang sedang berjalan proses hukumnya agar eksekusi mati serupa tidak terulang kembali.
Di tinjau dari sisi hukum positif Arab Saudi, eksekusi mati yang dilakukan adalah upaya Arab Saudi melakukan penegakan hukum ( Law Enforcement) terhadap tindak pidana yang terjadi dengan menjalankan sepenuhnya syariat Islam sebagai Hukum dasar negara (Ground Norm). Namun di satu sisi, hukuman mati yang dilakukan oleh Arab Saudi dapat dibatalkan dengan mendapatkan pengampunan dari ahli waris Korban dengan disertai syarat tertentu berupa tebusan.
Upaya-upaya diplomasi dan advokasi terhadap kasus yang menimpa Zaini Misrin di nyatakan oleh pemerintah telah maksimal sejak kasus ini terjadi pada tahun 2004 hingg upaya Peninjauan kembali di usulkan oleh Pemerintah Indonesia ke pemerintah Arab Saudi.
Di kutip dari laman Kompas, menyebutkan bahwa upaya pendampingan tergadap Zaini Misrin telah maksimal dilakukan hingga Presiden telah 3 (tiga) kali berkirim surat kepada Raja Arab Saudi Salman Abdul Aziz puncaknya saat Raja Salman tersebut ke Indonesia, Presiden Indonesia kembali menyampaikan hal tersebut face to face.
Upaya-upaya yang disinyalir telah maksimal tersebut ternyata tidak membuahkan hasil, mengingat pemerintah Indonesia mengajukan Peninjauan Kembali terhadap eksekusi mati tersebut dan sebelum diterima atau di tolaknya Peninjauan Kembali tersebut, Arab Saudi telah terlebih dahulu mengeksekusi mati Zaini Misrin.
Ironis memang, di tengah uforia kedatangan Raja Salman tempo lalu yang memberikan gairah luar biasa dengan investasi Triliunan terhadap Indonesia seakan menjadi pudar ketika Arab Saudi mengeksekusi mati TKI tanpa di awali dengan pemberitahuan terlebih dahulu. Padahal tahun 2015 silam, Antara Arab Saudi dan Indonesia bersepaham agar memberikan "official notification" terkait adanya eksekusi mati.
Tentu kesepahaman yang dimaksud memang bukanlah sumber hukum yang harus ditaati oleh Arab Saudi, namun secara etika politik sungguh Arab Saudi tidak menghargai kesepahaman yang telah dibuat dengan Indonesia.
Berbeda sekali dengan Indonesia yang tahun lalu mengeksekusi mati beberapa Warga Negara Asing yang terlibat kasus narkoba, Indonesia dengan penuh hormat memberikan surat pemberitahuan resmi kepada negara Warga Negara Asing yaitu Prancis, Brazil dan Australia agar disilahkan melakukan pembelaan.
Beberapa pertanyaan muncul terkait kontradiksi etika politik negara dalam hubungan bilateral dan multilateral. Mungkinkah Bargainig Position Indonesia telah Lemah?
Pemerintah wajib bersikap tegas
Mengenai apakah bargaining position indonesia lemah atau tidak, jika dilihat dari sudut pandang realita dengan beberapa pendekataan usaha yang dilakukan Pemerintah agar dapat melindungi warga negaranya dari ancaman hukuman mati tentulah gagal. Eksekusi mati terhadap kasus pembunuhan tentu tidaklah hal yang krusial jika dibanding dengan kasus penyeludupan narkoba dengan jumlah besar (ekstraordinary crime) sebagai perbandingan. Barangkali jika WNI melakukan Kejahatan luar biasa mungkin masih bisa diterima eksekusi mati tersebut dilakukan. Namun kenyataannya tidak. Terlepas dari apakah pembunuhan yang dilakukan oleh Zaini Misrin suatu kebenaran atau sesuatu yang dilakukan dalam upaya mempertahankan diri sedikit sekali data dan fakta yang diperoleh ditengah sulitnya mendapatkan akses keterbukaan informasi publik di Negara Saud tersebut.
Tentu dengan di abaikannya PK yang di ajukan pemerintah dalam keadaan "Quo" merupakan hipotesa sementara bahwa Indoneaia tidak memiliki bargaining position di mata Arab Saudi.
Pemerintah harus berani bersikap
Pemerintah wajib memmbil sikap berani meskipun tidak populer dimata dunia demi membuktikan bahwa jargon Indonesia Hebat yang di langgemgkan pemerintah saat ini dapat senyata terwujud.
Upaya-upaya berani tersebut lebih tinggi tingkatannya dari sekedar tegas. Menarik duta besar RI dan Konsulat Jendral yang ada di Arab Saudi kembali untuk sementara waktu tentu akan membuktikan bahwa Negara sedang tidak main-main dangan hak dasar yaitu hak hidup seperti yang di atur dalam UUD 1945.
Upaya-upaya berani lainnya yaitu mengusir duta besar Arab Saudi yang ada di Indonesia kembali ke negaranya dalam waktu tertentu juga akan menunjukan bahwa Indonesia masih memiliki harga diri yang kuat.
Pertanyaan akan muncul, apakah Indonesia berani mengambil sikap ini?
Alih-alih mengambil sikap non-populis yang cenderung ekstrem pemerintah Indonesia melalui wakil presiden malah memaklumkan eksekusi mati sebagai upaya Arab Saudi menegakkan hukumnya.
Tentu saja pernyataan wakil presiden Indonesia ini melukai hati keluarga korban.
Belum lagi ada banayak MoU bilateral multisektor seperti investasi ekonomi, kerjasama pertambangan dan lain sebagainya yang harus dipikir matang oleh pemerintah apakah berdampak kepada keretakan stabilitas ekononi antara kedua negara. Hal ini cukup akan membuat Pemerintah bimbang.
*komitmen pemerintah untuk memperbaiki tata kelola TKI*
pada November 2017, telah disahkan UU 18/2017 tentang perlindungan pekerja migran Indonesia menggantikan UU 39/2004.
Dalam UU itu, paradigma perlindungan TKI berubah total.
Setelah disahkan pada 25 Oktober 2017 melalui Sidang Paripurna DPR-RI, Undang-Undang tentang Pelindungan Pekerja Migran akhirnya diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Proses revisi Undang-Undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia berjalan dalam proses yang cukup panjang. Setelah kurang lebih 7 tahun proses pembahasan, Undang-Undang No.18 tahun 2017 akan menggantikan Undang-Undang No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri.
Undang-Undang No.18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia memiliki banyak kemajuan dalam beberapa aspek. Di antaranya adalah aspek perlindungan yang telah mengadopsi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, yang juga telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang No.6 Tahun 2012. Namun, masih terdapat beberapa catatan kritis yang perlu menjadi perhatian kita dalam Undang-Undang No.18 Tahun 2017 ini dalam tataran implementasi hingga aturan pelaksananya ke depan.
Secara keseluruhan Undang-undang ini telah mengatur dengan baik tata laksana penempatan, perlindungan dan penjaminan keamanan TKI yang bekerja di luar negeri, tinggal bagaimana tindak lanjut keseriusan yang harus dilakukan pemerintah kita secara serius dan berkesinambungan.
pemetaan berbasis teori konflik
Adanya perbedaan antara harapan dan kenyataan (das sein das sollen) melahirkan chaos e dalam kondisi menyikapi kepentingan indonesia untuk melindungi warga negara nya dan kepentingan negara asing dalam melakukan upaya Law enforcemance akan berujung kepada konflik.
Dalam tanda kutif.konflik ini harus segera diselesaikan dengan menggunakan pendekatan yang perauasif (persuasive approach). Pendekataan semacam ini dapat dimulai dengan melakukan pemetaan dan pendaataan ulang jumlah kasus-kasus yang melibatkan TKI kita di semua negara di luar negeri, baik kasus dalam kategori ringan maupun kasua dalam kategori ancaman eksekusi mati.
Hal semacam ini sangat penting dilakukan, agar pemerintah tahu rasio jumlah kasus dengan jumlah diplomat dan advokat yang perlu di tempatkan untuk mendampingi kasus TKI di luar negeri tersebut.
Dibalik semua wacana mengembalikan political standing Indonesia di kancah Internasional, hal paling mendasar adalah pemerintah wajib menyiapkan solusi akan ke prustrasian sulitnya lapangan pekerjaan dalam negeri. Sehingga dengan merumuskan kebijakan pro rakyat dan menyediakan lapangan pekerjaan baru adalah sebuah otokritik yang harus dijadikan skala prioritas agar konsep negara hadir dalam semua lini berbangsa dan bernegara memang benar adanya.
Dengan telah melakukan upaya maksimal melalui pendekatan konferhensif ini barulah Indonesia akan mampu mengembalikan ke digdayaannya di mata publik Internasional.
Komentar
Posting Komentar