Langsung ke konten utama

Revolusi mental dalam membangun pemuda anti korupsi

(Afriansyah, Pegiat Anti Korupsi )

Anti korupsi adalah isu yang tidak pernah berhenti dalam pembahasan dalam kehidupan kita sehari-hari. Isu ini merupakan isu utama dalam roda pemerintahan di Indonesia. Bagaimana tidak, hampir setiap saat televisi menyuguhkan berita terjadinya korupsi oleh oknum di negeri ini. Hal ini menandakan bahwa angka korupsi dan budaya malu di negeri kita masih sangat jauh dari harapan. Wajar saja, selalu ada aksi pro anti korupsi yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat dan pemuda yang mendukung penegak hukum agar lebih cepat dalam melakukan penegakan terhadap pidana khusus ini, karena korupsi adalah akar dari permasalahan bangsa yang sejauh ini membuat rakyat Indonesia tidak makmur dan jauh dari kecukupan. Inilah sebab mengapa Indonesia yang kaya akan sumber daya alam belum mampu membuat seluruh rakyat indonesia makmur atas kekayaan alam yang dimiliki.
Pada dasarnya usaha pemberantasan korupsi di Indonesia tidak hanya menjadi tanggungjawab lembaga Negara saja yang dalam hal ini lembaga penegak hukum khususnya KPK, akan tetapi usaha pemberantasan merupakan tanggung jawab semua warga masyarakat Indonesia, oleh karena perbuatan koruptif telah masuk dalam semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara, yang episentrum utamanya adalah lembaga-lembaga negara dari tingkat atas sampai ketingkat yang paling rendah yaitu kepala desa, bahkan sampai kepada RT/RW. Situasi tersebut sesungguhnya sangat mengerikan (weird) karena dapat mengancam integritas bangsa dan Negara kedepan.
Korupsi adalah penyakit yang harus diobati, seumpama penyakit, korupsi harus diatasi secara permanen agar imbasnya tidak menular ke sektor kehidupan lain yang akan mengkontaminasi generasi baru di masa mendatang. Tentu hal ini tidak mudah dilakukan, namun sebagai pemuda dan generasi pelurus bangsa, optimis harus selalu tertanam di jiwa bahwa apa yang di usahakan dengan tujuan mulia akan terlaksana meskipun agak lama, namun tetap konsisten dalam memperjuangkan Indonesia bersih dan Indonesia yang berbudaya jujur.
Pemuda harus hadir sebagai solusi dalam peranan penanganan dan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia. Sebagaimana penulis sebutkan diatas bahwa tanggung jawab usaha pemberantasan korupsi di Indonesia tidak hanya menjadi tangung jawab penegak hukum saja tapi juga menjadi tanggung jawab setiap elemen masyarakat khususnya kaum muda yang merupakan generasi penerus dan pelurus bangsa dan negara.     Peranan pemuda dalam usaha pemberantasan korupsi di Indonesia sangatlah penting peranannya. Pemuda merupakan the high human capital of Indonesia untuk masa depan Indonesia merdeka, disamping peran vital yang diembannya pemuda juga merupakan garda terdepan dsebagai agen of social control dengan semangat dan gagasan yang dimilikinya pemuda dimungkinkan mampu berfikir kritis dn bertindak strategis dalam peranannya untuk menekan angka korupsi. Oleh karenanya, kaum pemuda harus mulai mengambil peran dalam setiap usaha pembangunan bangsa dan negara Indonesia yang bersih dari KKN dan untuk Indonesia sejahtera.
Presiden Jokowi meneken Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2016 lalu tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental. Inpres ini dikhususkan untuk memperbaiki serta membangun karakter bangsa Indonesia dalam melaksanakan revolusi mental. Salah satu poin dalam revolusi mental tersebut adalah membudayakan Indonesia bersih. Dalam pidatonya yang dimuat di kompas, Jokowi menjelaskan maksud dari membudayakan Indonesia bersih adalah bebas dari korupsi dan bersih dalam pelaksanaan aktifitas berbangsa dan bernegara di semua sektor. Presiden mengakui bahwa korupsi adalah masalah utama yang mengakibatkan distrust terhadap penyelenggara negara karena pemerintah selalu gagal membendung budaya korupsi yang selalu memiliki celah agar dilakukan oleh oknum dalam pemerintahan. Dikutip dari Tempo.com, Dalam tahun 2016 ICW (Indonesia Corupption Watch) merilis jumlah kerugian negara sebesar Rp.3 Triliun, sementara di muat di media Antaranews.com sepanjang tahun 2015 ICW (Indonesia Corupption Watch) merilis kerugian negara sebesar Rp.31 Triliun. Jumlah ini tentu bukanlah jumlah yang kecil jika di manfaatkan untuk menjalankan roda ekonomi nasional. Angka Rp.3 Triliun adalah sama dengan jumlah Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Provinsi Jambi tahun 2014, dan jika dengan angka Rp.31 Triliun tentu ini akan dapat menopang 30 provinsi yang berbeda dengan alokasi APBD yang sama.
Penegakan hukum terhadap pidana korupsi ini telah di atur dalam beberapa Peraturan Perundang-undangan. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang secara jelas memuat ketentuan korupsi dan hukum acara tipikor. Selain itu, juga ada lembaga Independen yang khusus melaksanakan penegakan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu KPK dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sudah ada dua Undang-undang dalam upaya penanganan perkara pidana khusus ini, namun kenyataannya juga marak kasus korupsi terjadi dari hari ke hari seakan semakin kuat penegakan, semakin kuat pula upaya oknum untuk mencari celah agar tidak terdeteksi.
Pola ini merupakan masalah yang harus di telusuri dimana terjadi kesenjangan antara harapan dengan kenyataan (das sollen das sein). Secara teoritis empiris, Soerjono Soekanto menyebutkan dalam bukunya lima faktor tegaknya hukum, instrumen penegakan hukum dapat dilihat dari 5 faktor yaitu dari hukum itu sendiri, aparat penegak hukum, sarana dan pra sarana, masyarakat dan kebudayaan.
1.   Hukum itu sendiri
Menurut Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Hukum adalah keseluruhan kaidah serta semua asas yang mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat dan bertujuan untuk memelihara ketertiban serta meliputi berbagai lembaga dan proses guna mewujudkan berlakunya kaidah sebagai suatu kenyataan dalam masyarakat.
Dalam faktor penegakan hukum yang pertama ini, penegakan hukum harus memiliki landasan atau yang lebih lazim disebut dengan alas atau dasar hukum penegakannya. Landasan ini memuat peraturan perundang-undangan muali dari yang tertinggi hingga yang terendah dalam struktur peraturan perundang-undangan.
Indonesia memiliki banyak sekali instrumen normatif penegakan hukum tindak pidana korupsi, baik yang diatur khusus dalam Undang-undang maupun yang di atur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Namun faktanya angka tindak pidana korupsi tidaklah hilang, mengapa ini bisa terjadi ? jawabannya adalah karena kesalahan bukan terjadi dalam faktor yang pertama ini, namun ada pada pelakunya.
2.   Aparat Penegak Hukum
Satjipto Rahardjo mengatakan penegakan hukum merupakan satu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi kenyataan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum. Oleh karena itu, setiap penegak hukum wajib menjalankan konsep penegakan hukum yang ideal dalam menangani semua persoalan hukum, namun kenyataannya juga jauh dari harapan, masih banyak publik yang tidak puas dengan sikap penegak hukum, hal ini dikarenakan hukum tidak boleh sesuai selera masyarakat, karena hukum harus ditegakkan dengan adil dan penuh kepastian. Dalam istilah yunani dikenal dengan “Fiat Justitia Ruat Caelum”.
3.   Sarana dan Prasarana
Sarana dan Prasarana merupakan bagian yang tidak kalah penting dalam penegakan hukum, tanpa adanaya sarana dn prasaran maka penegakan hukum akan jelas tumpul dan tidak akan objektif dalam pembuktian kebenarannya.bayangkan bagaimana mungkin seorang menuduh bahwa seseorang lainya adalah pencuri di sebuah rumah dika tidak dapat dibuktikan dengan kamera cctv , inilah yang dimaksud dengan sarana. Lebih lugas lagi sarana dan prasarana adalah penunjang agar penegak hukum dapat menjalankan fungsi penegakan hukum dengan baik.
4.   Kebudayaan
Bagaimanapun hukum mengatur suatu sikap ketaatan yang universal, tidak akan berlaku jika bertentangan dengan kebudayaan masyarakat. Hukum pada dasarnya adalah bersumber dari kebudayaan masyarakat yang secara sukarela dipatuhi lalu kemudian di tuangkan dalam format tertulis, inilah yang disebut dengan adat recht yang bersumber dari kebiasaan masyarakat. Di Bali tidak berlaku UU Pornografi yang mewajibkan pembatasan berpakaian bagi perempuan yang menyelenggarakan adatnya. Artinya, hukum yang baik adalah hukum yang tidak bertentangan dengan budaya masyarakat dan masyarakat memiliki  rasa bertanggung jawab untuk melaksanakan aturan tersebut.
5.   Masyarakat
Unsur yang terakhir adalah masyarakat sebagai moral face. Masyarakat yang merupakan himpunan dari individu memiliki aturan dalam beraktifitas, pada prinsipnya manusia adalah cenderung kepada kebenaran. Masyarakat menginginkan adanya jaminan rasa aman, adanya jaminan terlindungi (feel to protect). Jaminan ini tentu juga harus dibentuk dalam organ masyarakat. Masyarakat yang acuh terhadap penegakan hukum dan keadilan tidak akan tercapai keinginan rasa aman. Karena keterbatasan penegak hukum dalam mengungkap pelanggaran hukum dan kejahatan haruslah bersama masyarakat agar rasa kuat dan gotong royong untuk keamanan tercipta, tanpa itu semua tidak akan mungkin suatu negara akan aman dan damai.

            Mengapa di atas penulis membuat judul tentang hubungan revolusi mental dengan membangun pemuda anti korupsi, karena pemuda adalah manusia yang masih segar dalam pemikiran yang akan mampu melahirkan gagasan untuk menekan angka korupsi, membendung budaya korup dengan program yang mereka susun dalam berorganisasi dan berhimpun. Mental yang kuat dimiliki oleh pemuda harus didukung penuh oleh pemerintah. Singkatnya pemerintah wajib mengalokasikan anggaran khusus untuk memberikan peran kepada pemuda dalam membangun mental dan budaya anti korupsi sejak dini. Indonesia Hebat jika pemudanya berintegritas dan bermartabat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH LEMBAGA NEGARA SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN UUD 1945

STUDI KOMPARATIF LEMBAGA NEGARA SEBELUM DAN SESUDH AAMANDEMEN UUD 1945 BAB 1 PENDAHULUAN A.     LATAR BELAKANG Sejak reformasi terjadi tahun 1998 yang berakibat berakhirnya masa pemerintahan orde baru, mulailah terjadi perubahan (Amandemen) konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945   sebanyak empat kali. Perubahan tersebut berimplikasi terhadap perubahan ketatanegaraan sekaligus susunan kelembagaan Negara Indonesia. salah satu dampak langsung perubahannya adalah perubahan supremasi MPR menjadi supermasi Konstitusi. Susunan kelembagaan Negara Indonesia tidak lagi mengenal istilah “lembaga tertinggi Negara” untuk kedudukan MPR sehingga terjadi kesejajaran kedudukan dengan lembaga sejenis demi menciptakan system check and balances. Telah dikenal adanya 3 fungsi kekuasaan klasik yaitu fungsi legislative, eksekutif, dan yudikatif oleh Baron de Montesquieu (1689-1785). Teori tersebut disebut juga teori Trias Politica yang menghendaki adanya pemisahan

Bawaslu, dan peran penanganan pelanggaran pemilu (otokritik terhadap penindakan pelanggaran menuju pemilu berintegritas)

Badan Pengawas Pemilihan Umum ( Bawaslu), berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 saat ini memiliki kewenangan besar, tidak hanya sebagai pengawas, sekaligus sebagai eksekutor hakim pemutus perkara. Saat ini dan ke depan, terbentang tantangan historis bagi Bawaslu untuk membuktikan peran dan eksistensi strategisnya mengawal pemilu yang berintegritas bagi kemajuan bangsa. Reformasi politik pascareformasi melalui gerakan rakyat (people power) Mei 1998 berhasil menumbangkan Orde Baru. Lahir dari kenyataan, bahwa selama rezim Orde Baru, rakyat Indonesia merasakan kekecewaan akibat praktik demokrasi prosedural. Hal itu seperti penyelenggaraan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 yang tidak sesuai dengan asas dan prinsip pemilu demokratis. Dalam konteks Indonesia yang sedang membangun peradaban politik yang sehat, pelaksanaan pemilu tanpa hadirnya pengawasan secara struktural dan fungsional yang kokoh berpotensi besar akan menimbulkan hilangnya hak pilih warga negara, mara

MENGAPA HARUS MENTAATI HUKUM ? (TINJAUAN FILSAFAT HUKUM)

MENGAPA HARUS MENTAATI HUKUM ? (TINJAUAN FILSAFAT HUKUM) oleh : Afriansyah,S.H  Pembentukan masyarakat yang taat hukum merupakan cita-cita yang selalu diharapkan agar terealisasi dalam berbangsa dan bernegara, tegaknya hukum yang dicita-citakan merupakan keniscayaan agar hukum dapat berdiri kokoh berdasarkan keadilan. Namun akhir-akhir ini beberapa kasus tertentu meyakinkan masyarakat bahwa hukum tak berdaya atas kekuasaan segelintir elit di negeri ini sehingga memunculkan pesimistis dan mengubur harapan masyarakat terhadap penegakan hukum yang ideal. konsep penegakan hukum yang ideal merupakan suatu tujuan (goal of life) dalam bermasyarakat yang memang tidak mudah untuk terapkan secara adil, Prof.Soerjone Soekamto menyebutkan ada lima faktor penegakan hukum dalam bernegara (Law Enforcement) yaitu : 1.hukum itu sendiri yang diartikan sebagai peraturan tertulis maupun tidak tertulis (materi hukum positif), 2. Aparat (penegak hukum, yang terdiri dari kepolisian,jaksa dan hak