Langsung ke konten utama
Home / Swarna Jambi / Upaya Membentang Diri Dari Sasaran Black Campaign

Upaya Membentang Diri Dari Sasaran Black Campaign

Afriansyah
Pengamatan Pilkada 3 Kabupaten dalam Provinsi Jambi
OPINI,swarnajambi.com – Akhir-akhir ini banyak bertebaran di media kata-kata black campaign dan negative campaign maupun kata-kata serupa dalam bahasa Indonesia yaitu kampanye hitam dan kampanye negatif.
Fenomena ini terjadi hampir diseluruh tataran media, Baik media informasi berbasis newsmedia(warta berita) maupun sosial media. Newsmedia yang terdiri dari media berita online dan cetak baik dalam bentuk berbadan hukum (resmi) maupun tidak berbadan hukum hampir sulit dibedakan, hal ini dikarenakan konten-konten yang ditampilkan sama kualitasnya, namun dapat dilihat perbedaan dari keduanya yaitu kontinuitas upload berita dan validnya sumber.
Dalam masa kampanye Pilkada tentu saja kampanye semacam ini lumrah terjadi walaupun kampanye hitam atau kampanye kotor tidak dianjurkan malahan bisa dibui sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, sedangkan kampanye negatif adalah konsekuensi yang harus diterima politisi atau partai politik atas kinerjanya di masa lalu.
Lalu apa itu kampanye hitam? Dan apa beda kampanye hitam dengan kampanye negatif?
Ini yang terkadang menimbulkan misinterprestasi, atau pemahaman yang salah tentang arti kata tersebut.
Menurut Djamaludin (2012), dalam tulisannya yang berjudul Deteksi Dini Terhadap Kegiatan Kampanye hitam Mampu Membangun Etika Politik, istilah black campaign, atau bisa disebut kampanye hitam itu berbeda dengan negative campaign, atau kampanye negative. Kampanye hitam sendiri berarti kampanye kotor menjatuhkan lawan dengan isu-isu negatif yang tidak berdasar, lebih banyak membual daripada menyebutkan fakta-fakta yang dapat diakui kesahihannya. Atau bisa dikatakan lebih banyak unsur fitnah dalam menjatuhkan pihak oposisi, atau lawan politik yang diinginkan (smear campaign).
Sedangkan kampanye negatif, merupakan kampanye yang bertujuan sama, yaitu menjatuhkan politik lawan, namun dengan fakta-fakta yang sahih, dan reliable.
Terkait dengan maraknya penggunaan newsmedia dalam berkampanye, Hadi Suprapto Rusli peneliti dari Indo barometer mengatakan siapa yang menguasasi dunia digital maka dialah yang menguasai dunia. Pernyataan yang disampaikan oleh peneliti tersebut bukan tak berdasar. Lihat saja dalam pilkada ditiga kabupaten dalam provinsi jambi yaitu kabupaten sarolangun, tebo dan muaro jambi.
Pemberitaan selalu tidak lepas dari kandidat pilkada. Sarolangun dan tebo. Yang head to head ini menurut versi survey seperti sudah dapat di tentukan pemenangnya jika dilihat dari kontinuitas pemberitaan dalam news media. Sementara kondisi yang tak sama terjadi di muaro jambi yang notabene tidak head to head.
Masyarakat di kabupaten ini seakan dibuat galau dalam menentukan pilihan dikarenakan sama-sama gencar dalam muncul di pemberitaan media. Sehinnga kandidat lebih getol dalam mengkapling media disamping terjun ke masyarakat langsung.
Dalam situasi seperti ini,Seluruh kandidat paham betul , bahwa media sangat mampu mendongkrak elektabilitas dan mempengaruhi seluruh lapisan masyarakat (multistage sosial) dalam penggiringan kepentingannya di pilkada, sehingga seluruh kandidat berlomba untuk mengkapling media dalam intensitas pemberitaan agar publik peduli dan simpatik dengan pola politik kandidat tersebut.
Berbeda halnya dengan sosial media, di dalam sosial media setiap individu bebas dalam melakukan penggringan opini demi kepentingan kandidatnya, ini menjadi mudah baik dalam negative campaign maupun black campaign, karena satu orang bisa memiliki lebih dari satu akun sosial media, baik berupa facebook, twitter, hingga instagram, Dewasa ini akun facebook adalah media sosial yang paling banyak digunakan dalam melakukan aksi negatif dan black campaign dibandingkan twitter dan Instagram, namun tak sedikit juga yang menggunakan twitter dan instagram dalam penggiringan opini, seperti daerah yang lebih maju yaitu metropolitan.
Tren pemilihan sosial media dalam negatif campagn dipengaruhi oleh tingkat jumlah pengguna dalam menggunakan akun sosial media.
Facebook salah satu media sosial yang paling sering digunakan dlm kampanye tidak sehat karena mudahnya membuat akun ini bahkan dalam jumlah puluhan, tergantung dari kesanggupan user menggunakannya.
Upaya untuk meraih simpati masyarakat dirasa tidak cukup dengan “mengkapling” newsmedia, untuk menaikkan popularitas.
Upaya jual beli serangan pun dipertontonkan di social media. Kita masih teringat dengan pilgub DKI 2012 silam.
Pada saat kampanye pertarungan memperebutkan kursi Gubernur DKI Jakarta pada semester 2 2012, beredar gosip di sosmed maupun dari mulut ke mulut bahwa “Jokowi Tidak Tahu Berwudhu”.
Bagi sebagian umat Islam informasi semacam ini umumnya dianggap tidak benar, masa seorang Muslim yang pernah naik haji tidak tahu berwudhu? Gosip ini adalah contoh kampanye hitam yang dilakukan untuk menjatuhkan Jokowi, karena kenyataannya Jokowi tahu berwudhu dengan tertib.
Sebuah contoh kampanye hitam berupa gambar membandingkan seolah-olah wajah Foke mirip Hitler dan Jokowi mirip Jenderal Sudirman. Menurut asumsinya, pembandingan ini merupakan kampanye hitam yang dilakukan pendukung Jokowi, karena dengan menjelekkan jokowi akan membuat jokowi mendapat respon positif dr masyarakat yg tidk percaya akan isu negative tersebut, tuntas sudah dan jokowi menang pilgub DKI.
Bagaimana dengan negative campaign dan black campaign di pilkada serentak 3 kabupaten dalam provinsi jambi mendatang ?
Negatif campaign dan black campaign tidak bisa dipisahkan dalam demokrasi terbuka seperti saat ini, sebagai contohnya adalah saat pilgub provinsi jambi 2015. Baik zumi zola aupun HBA mendapat kampanye negatif yang menyerang kedua kubu.
Zumi zola yang saat itu mengatakan objek wisata gunung kerinci tidak dikenal di wisatawan asing padahal secara fakta gunung kerinci sering di daki oleh wisatawan asing. Tentu saja hal inn dijadikan negatif campaign oleh oknum yang tidak bertanggung jawabusehingga dapat mempengaruhi elektabilitas Zola ddala masa kampanye dan kontan saja masyarakat tergiring untuk memperbincamgkannya dalam berbagai keaempatan.
Berbeda demgan HBA yang selalu diterpa negatif campaig dari oknum yang tidak bertanggung jawab jawab. Tidak tamggung tanggung, kabar miliki istri lebih dari satu dilemparkan dalam memenahalaju elektabilitas HBA yang tengah menanjat. Hingga isue pelecehan sekssual menjadi viral saat perhelatan pilgub, namun black campaogn ini tak terbukti.
Berkaca pada fenomena kampanye kotor ini. Penyelenggara pemilu membuat penanda tanganan kampanye damai. dalam penanda tanganan kesepakatan pilkada damai seluruh kandidat sudah menunjukkan integritasnya melaksanakan kampanye yang sesuai dengan aturan, dan muara dari penanda tanganan fakta integritas ini adalah seluruh kandidat menyanggupi untuk tidak saling merugikan satu sama lain dalam kampanye. Namun fakta berkata lain.
Trend kampanye tidak sehat ini selalu dibantah Tim semua kandidat. Semuanya mengklaim tidak pernah melakukan kampanye kotor di sosial media dan mengatakan kampanye kotor tersebut dilakukan oleh oknum yang tidak nertanggung jawab dengan akul palsu.
Pada umumnya Dalam kampanye kotor di sosmed tim kandidat yang satu menyerang kandidat lain sehingga kandidat yg diserang jatuh elektabilitasnya namun ini terlalu biasa, hal yang luar biasa bisa terjadi lebih dari itu, dimana tim dari kandidat yang satu melakukan serangan negatif dan black campaign untuk kandidatnya sendiri, secara terukur, tentu isu ini akan cepat ditanggapi oleh timnya sendiri dan akan ditanggapi oleh swing voter, maupun lawan politik (kandidat lain).
Jika hal ini dilakukan dengan pola terukur tujuan yang diinginkan dari pembuat isu akan mudah dicapai dengan signifikan,dan jika dilaksanakan dengan konsep buzzer atau menyerang dengan akul palsu, tingkat ke blunderannya akan minim. Namun hal ini bukanlah cita-cita demokrasi dalam melahirkan pemimpin yang sebenarnya!
Kondisi pembodohan ini sulit dipecahkan jika ingin melaporkan pelaku dalam black campaign karena akun yang digunakan adalah akun palsu, tetapi masyarakat tak perlu pusing dalam menelusuri akun palsu tersebut, antisipasi ini dapat dilakukan dengan mempersiapkan diri sendiri dalam menentukan siapa yang layak dipilih. Ada sikap telaah tingkat tinggi yang harus diimiliki pembaca berita sehingga tidak terjebak dengan pemutarbalikan fakta yang menyesatkan
1. Masyarakat harus memiliki literasi informasi.
Sumber informasi yang tidak jelas kevalidannya membuat fakta menjadi issue, maupun sebaliknya, Muhammad rum ketua pustakawan provinsi jambi dalam seminar literasi informasi untuk
Masyarakat sarolangun yang diadakan oleh Himsar jambi mengatakan dalam menseleksi informasi yang beredar di masyarakat, seeorang pembaca harus memiliki literasi informasi yang baik, hal ini dapat dimulai dengan menerapkan sistem 5W + 1H, pola ini adalah pola yang tepat dalam menelusuri kebenaran berita dan keabsahan sumber agar pemberitaan yang sarat akan kepentingan pilkada dapat ditepis secara objektif.
2. Memiliki ukuran yang jelas dalam menentukan pilihan.
Semua kandidat yang bertarung dalam pilkada adalah putra -putri terbaik yang dimiliki daerah masing-masing, hal ini tentu dapat dilihat dari generalisir memperoleh kepercayaan dari rakyat melalui prtai politik. Melakukan perbandingan secara terukur terhadap jabatan dan peran sebelum menjadi cakada masing-masing kandidat adalah salah satu penilaian objektif dalam menentukan pilihan, dengan menelusuri sepak terjang tugas, peran dan fungsi saat sebelum menjadi cakada kemudian dihubungkan dengan target yang dicapai dalam jabatan sebelumnya (track record), jika target dalam jabatan sebelumnya tercapai, maka tidak salah menjatuhkan pilihan padanya, namun sebaliknya, jika tidak tercapai target dalam jabatan sebelumnya atau track record nya jelek, jangan jatuhkan pilihan pada kandidat tersebut.
Semoga dengan melihat dan mentelaah secara objektif, pilkada serentak di provinsi jambi dapat melahirkan pemimpin yang sebenarnya rakyat butuhkan dalam mewujudkan cita-cita bernegara yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
Penulis : Afriansyah
Mahasiswa Fakultas Hukum Unja

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH LEMBAGA NEGARA SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN UUD 1945

STUDI KOMPARATIF LEMBAGA NEGARA SEBELUM DAN SESUDH AAMANDEMEN UUD 1945 BAB 1 PENDAHULUAN A.     LATAR BELAKANG Sejak reformasi terjadi tahun 1998 yang berakibat berakhirnya masa pemerintahan orde baru, mulailah terjadi perubahan (Amandemen) konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945   sebanyak empat kali. Perubahan tersebut berimplikasi terhadap perubahan ketatanegaraan sekaligus susunan kelembagaan Negara Indonesia. salah satu dampak langsung perubahannya adalah perubahan supremasi MPR menjadi supermasi Konstitusi. Susunan kelembagaan Negara Indonesia tidak lagi mengenal istilah “lembaga tertinggi Negara” untuk kedudukan MPR sehingga terjadi kesejajaran kedudukan dengan lembaga sejenis demi menciptakan system check and balances. Telah dikenal adanya 3 fungsi kekuasaan klasik yaitu fungsi legislative, eksekutif, dan yudikatif oleh Baron de Montesquieu (1689-1785). Teori tersebut disebut juga teori Trias Politica yang menghendaki adanya pemisahan

Bawaslu, dan peran penanganan pelanggaran pemilu (otokritik terhadap penindakan pelanggaran menuju pemilu berintegritas)

Badan Pengawas Pemilihan Umum ( Bawaslu), berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 saat ini memiliki kewenangan besar, tidak hanya sebagai pengawas, sekaligus sebagai eksekutor hakim pemutus perkara. Saat ini dan ke depan, terbentang tantangan historis bagi Bawaslu untuk membuktikan peran dan eksistensi strategisnya mengawal pemilu yang berintegritas bagi kemajuan bangsa. Reformasi politik pascareformasi melalui gerakan rakyat (people power) Mei 1998 berhasil menumbangkan Orde Baru. Lahir dari kenyataan, bahwa selama rezim Orde Baru, rakyat Indonesia merasakan kekecewaan akibat praktik demokrasi prosedural. Hal itu seperti penyelenggaraan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 yang tidak sesuai dengan asas dan prinsip pemilu demokratis. Dalam konteks Indonesia yang sedang membangun peradaban politik yang sehat, pelaksanaan pemilu tanpa hadirnya pengawasan secara struktural dan fungsional yang kokoh berpotensi besar akan menimbulkan hilangnya hak pilih warga negara, mara

MENGAPA HARUS MENTAATI HUKUM ? (TINJAUAN FILSAFAT HUKUM)

MENGAPA HARUS MENTAATI HUKUM ? (TINJAUAN FILSAFAT HUKUM) oleh : Afriansyah,S.H  Pembentukan masyarakat yang taat hukum merupakan cita-cita yang selalu diharapkan agar terealisasi dalam berbangsa dan bernegara, tegaknya hukum yang dicita-citakan merupakan keniscayaan agar hukum dapat berdiri kokoh berdasarkan keadilan. Namun akhir-akhir ini beberapa kasus tertentu meyakinkan masyarakat bahwa hukum tak berdaya atas kekuasaan segelintir elit di negeri ini sehingga memunculkan pesimistis dan mengubur harapan masyarakat terhadap penegakan hukum yang ideal. konsep penegakan hukum yang ideal merupakan suatu tujuan (goal of life) dalam bermasyarakat yang memang tidak mudah untuk terapkan secara adil, Prof.Soerjone Soekamto menyebutkan ada lima faktor penegakan hukum dalam bernegara (Law Enforcement) yaitu : 1.hukum itu sendiri yang diartikan sebagai peraturan tertulis maupun tidak tertulis (materi hukum positif), 2. Aparat (penegak hukum, yang terdiri dari kepolisian,jaksa dan hak