Langsung ke konten utama

TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN PRA PERADILAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA CALON KAPOLRI KOMJEN POL BUDI GUNAWAN OLEH KPK BERDASARKAN UU NO.30 TAHUN 2002 TENTANG KPK

TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN PRA PERADILAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA CALON KAPOLRI KOMJEN POL BUDI GUNAWAN OLEH KPK BERDASARKAN UU NO.30 TAHUN 2002 TENTANG KPK
Oleh : AFRIANSYAH YUSUF
Senin,16 February 2015 sidang pra peradilan kasus Penetapan tersangka oleh KPK terhadap calon kapolri tunggal KomjenPol Budi Gunawan selesai.hakim tunggal Sarpin Rizaldi mengetok palu dan mengabulkan tuntutan pemohon sebagian dan menolak sebagian tuntutan pemohon.dalam sidang praperadilan ini hakim memutuskan bahwa penetapan status tersangka oleh KPK kepada Budi Gunawan tidak sah oleh termohon dlam hal ini adalah KPK dan tidak memiliki status hukum mengikat.artinya hakim memutuskan bahwa status yang disangkakan oleh kpk terhadap BG tidak benar dengan beberapa pertimbangan di antaranya sebagai berikut.
1.menyatakan bahwa BG bukan penyelenggara Negara saat menjabat kepala lembaga pendidikan polisi (kelemdikpol) namun BG adalah pejabat administrasi (pasal 11 huruf a UU No.30 tahun 2002 tentang KPK)
2.tidak ada keresahan oleh publik saat BG menjabat kelemdikpol (pasal 11 huruf b UU KPK)
3.BG tidak mengakibatkan kerugian terhadap Negara paling sedikit Rp.1 milyar (pasal 11 huruf c UU KPK)
Pertimbangan yang di lakukan oleh hakim Sarpin Rizaldi ini yang digunakan dalam mengabulkan tuntutan yang di layangkan oleh kubu BG yang menyatakan bahwa penetapan status tersangka oleh KPK terhadap BG adalah tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Putusan ini dinilai beberapa pakar hukum menyebabkan ke khawatiran terhadap pemberantasan korupsi kedepan.bagaimana tidak,jika semua tersangka yang di tetapkan oleh kpk mengajukan pra peradilan bukan tidak mungkin status tersebut lenyap saat pra peradilan dan tentu saja akan berakibat fatal pada penumpasan pemberantasan korupsi tanah air dengan kata lain “selamat kalian menang”.ungkapan ini saya pikir tepat digunakan dalam kasus ini.terlepas proses penyelidikan,penyidikan,pemeriksaan dan penuntutan belum selesai oleh KPK. Namun ada baiknya kita menghormati penetapan tersangka oleh KPK.soal apakah BG bersalah atau tidak biar di buktikan dalam proses ligitasi di pengadilan.tidak harus dalam pra peradilan yang bukan ranahnya.kemudian mengapa pengadilan yang di pilih bukan di Jakarta pusat sebagaimana tempat tergugat menetapkan BG sebagai BG,mengapa pengadilan negeri Jakarta selatan?.lalu mengapa pula pengadilan negeri jaksel menerima gugatan tersebut,seharusnya pengadilan negeri jaksel menolak dan menyatakan kepada BG bahwa ini bukan wilayah hukumnya sesuai yang di atur dalam KUHAP pasal  84 inilah yang menjadi pertanyaan besar yang perlu dijawab.
Tinjauan yuridis pra peradilan.
Pra peradilan di atur dalam KUHAP pasal 77 hingga pasal 83. Dalam pasal 77 hurup a KUHAP PN berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengai ketentuan yang di atur dalam undang-undang ini tentang:
Sah tidaknya penangkapan,penahanan,penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
Dalam kasus ini BG belum dilakukan penangkapan apalagi penahanan.tentu pra peradilan ini tidak dibenarkan. Dalam pasal 82 angka 3 KUHAP yang berbunyi “dalam hal putusan penangkapan atau penahanan tidak sah,maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus membebaskan tersangka.” .dalam pasal ini dapat kita perhatikan pra peradilan hanya dapat dilakukan atas sah tidak nya penangkapan atau penahanan terhadap tersangka.dari pasal ini jelas pra peradilan yang di lakukan BG tidak dibenarkan dan seharusnya di tolak oleh PN Jaksel,karena kasus BG ini baru sebatas penetapan tersangka belum masuk pada tahap penangkapan apalagi penahanan,dan tentu ini dikatakan bertentangan dengan pasal ini sendiri.kemudian jika pr peradilan ini memenuhi unsur pasal 82 angka 3 KUHAP yang memerintahkan untuk menghentikan proses penyidikan kepada jaksa maupun penyidik dalam hal ini adalah termohon yaitu KPK tentu perintah hakim melalui putusan nya tidak dapat dilaksanakan.mengingat pasal 40 UU No.30 tahun 2002 tentang KPK berbunyi sebagai berikut.”Komisi Pemberantasan korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi”.
Artinya meskipun dikabulkan tuntutan pemohon terhadap termohon tidak akan mempengaruhi rangkaian proses pemeriksaan terhadap BG.dan hendaknya KPK terus melakukan rangkaian proses pemberantasan korupsi seperti yang di atur oleh UU KPK tersebut.hal ini telah di atur oleh UU, kecuali jika penyidik tidak menemukan bukti permulaan yang kuat terhadap kasus yang sedang di selidiki seperti yang tersirat dalam pasal 44 angka 3 UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK yang berbunyi “dalam hal penyidik melakukan tugasnya tidak menemukan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud pada ayat 1 penyidik melaporkan kepada KPK dan KPK menghentikan penyidikan,dan ayat 1 pasal 44 UU KPK berbunyi “jika penyidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup dugaan tindak pidana korupsi,dalam waktu paling lambat 7 hari kerja terhitung sejak ditemukan alat bukti permulaan yang cukup tersebut,penyidik melaporkan kepada KPK”
Hakim di samping menjalankan hukum juga memiliki kewenangan menemukan hukum dalam hal ini di sebut yurisprudensi.namun dalam hal ini saya mengatakan bahwa  hakim menggunakan logika sesat pikir dalam menerjemahkan sebuah defenisi yang kontroversi .apakah BG bukan penegak hukum.? Inilah sumber kesesatan nya.kalau polisi bukan penegak hukum lalu apa?.apakah kualifikasi yang tepat sebagai penegak hukum?apakah hanya polisi yang bekerja di jajaran reserse criminal saja?jelas apapun bidang tugas nya polisi tetaplah penegak hukum di Negara ini.lalu mengapa hakim sarpin menyatakn BG saat menjabat kelemdikpol bukanlah pejabat Negara melainkan pelaksana administrative.kita semua tahu bahwa polisi adalah penegak hukum dan BG adalah polisi dan pejabat Negara sesuai dengan kualifikasi pada pasal 1 angka 2 UU No.30 Tahun 2002 jo UU No.28 Tahun 1999 tentang penyelenggara yang bersih dan bebas Korupsi, kolusi, dan nepotisme ) .namun keputusan hakim mengenai ini wajib kita hormati sebagai hasil dari proses hukum.
Dalam hukum ada istilah adanya harapan yang tak sesuai dengan apa yang terjadi sebenarnya atau keyataan /das sollen das sein.kontropersi dan pro kontra terus bergulir, mulai dari pencalonan tunggal yang di lakukan presiden ,penetapan tersangka oleh kpk terhadap BG hingga saat pengajuan pra peradilan yang di lakukan BG dan puncaknya putusan hakim yang memenangkan tuntutan BG .
Dan pada akhirnya sebagai rakyat yang yang mencita-citakan Negara ini bebas korupsi hanya bias pasrah menunggu keputusan dari presiden apakah melantik BG sebagai Kapolri dan mendengarkan partainya ataukan tidak melantik BG dan mendengarkan dan melihat harapan rakyat Indonesia.Wallahualam….

Penulis adalah Afriansyah Yusuf
mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH LEMBAGA NEGARA SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN UUD 1945

STUDI KOMPARATIF LEMBAGA NEGARA SEBELUM DAN SESUDH AAMANDEMEN UUD 1945 BAB 1 PENDAHULUAN A.     LATAR BELAKANG Sejak reformasi terjadi tahun 1998 yang berakibat berakhirnya masa pemerintahan orde baru, mulailah terjadi perubahan (Amandemen) konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945   sebanyak empat kali. Perubahan tersebut berimplikasi terhadap perubahan ketatanegaraan sekaligus susunan kelembagaan Negara Indonesia. salah satu dampak langsung perubahannya adalah perubahan supremasi MPR menjadi supermasi Konstitusi. Susunan kelembagaan Negara Indonesia tidak lagi mengenal istilah “lembaga tertinggi Negara” untuk kedudukan MPR sehingga terjadi kesejajaran kedudukan dengan lembaga sejenis demi menciptakan system check and balances. Telah dikenal adanya 3 fungsi kekuasaan klasik yaitu fungsi legislative, eksekutif, dan yudikatif oleh Baron de Montesquieu (1689-1785). Teori tersebut disebut juga teori Trias Politica yang menghendaki adanya pemisahan

Bawaslu, dan peran penanganan pelanggaran pemilu (otokritik terhadap penindakan pelanggaran menuju pemilu berintegritas)

Badan Pengawas Pemilihan Umum ( Bawaslu), berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 saat ini memiliki kewenangan besar, tidak hanya sebagai pengawas, sekaligus sebagai eksekutor hakim pemutus perkara. Saat ini dan ke depan, terbentang tantangan historis bagi Bawaslu untuk membuktikan peran dan eksistensi strategisnya mengawal pemilu yang berintegritas bagi kemajuan bangsa. Reformasi politik pascareformasi melalui gerakan rakyat (people power) Mei 1998 berhasil menumbangkan Orde Baru. Lahir dari kenyataan, bahwa selama rezim Orde Baru, rakyat Indonesia merasakan kekecewaan akibat praktik demokrasi prosedural. Hal itu seperti penyelenggaraan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 yang tidak sesuai dengan asas dan prinsip pemilu demokratis. Dalam konteks Indonesia yang sedang membangun peradaban politik yang sehat, pelaksanaan pemilu tanpa hadirnya pengawasan secara struktural dan fungsional yang kokoh berpotensi besar akan menimbulkan hilangnya hak pilih warga negara, mara

MENGAPA HARUS MENTAATI HUKUM ? (TINJAUAN FILSAFAT HUKUM)

MENGAPA HARUS MENTAATI HUKUM ? (TINJAUAN FILSAFAT HUKUM) oleh : Afriansyah,S.H  Pembentukan masyarakat yang taat hukum merupakan cita-cita yang selalu diharapkan agar terealisasi dalam berbangsa dan bernegara, tegaknya hukum yang dicita-citakan merupakan keniscayaan agar hukum dapat berdiri kokoh berdasarkan keadilan. Namun akhir-akhir ini beberapa kasus tertentu meyakinkan masyarakat bahwa hukum tak berdaya atas kekuasaan segelintir elit di negeri ini sehingga memunculkan pesimistis dan mengubur harapan masyarakat terhadap penegakan hukum yang ideal. konsep penegakan hukum yang ideal merupakan suatu tujuan (goal of life) dalam bermasyarakat yang memang tidak mudah untuk terapkan secara adil, Prof.Soerjone Soekamto menyebutkan ada lima faktor penegakan hukum dalam bernegara (Law Enforcement) yaitu : 1.hukum itu sendiri yang diartikan sebagai peraturan tertulis maupun tidak tertulis (materi hukum positif), 2. Aparat (penegak hukum, yang terdiri dari kepolisian,jaksa dan hak